Minggu, 16 Desember 2012
FEBRY "PENDEKAR WANITA CIREBON"
“Ia tidak merasa masa mudanya terampas karena menekuni pencak silat. ”
Buk! Kaki jagoan silat itu melayang cepat. Sambil menahan nyeri, lawannya
menghindar. Entah kenapa tayangan adu jotos di layar kaca itu tak membuat
gadis kecil tersebut ngeri. Ia malah semakin terkesima oleh adu tendangan
tersebut. Itulah tendangan yang mengubah sejarah Febriyani Nurkhasanah,
gadis kecil tersebut. Sejak menonton tayangan laga pencak silat dalam SEA
Games 1993, Febri–panggilan Febriyani–kecil bersumpah ingin menjadi atlet
pencak silat. Ia melupakan cita-cita menjadi dokter atau polisi–cita-cita
yang biasa hinggap di otak anak kecil.
Sejarah pun berpihak kepadanya. Empat belas tahun kemudian, yakni sekarang
ini, Febri telah melambung menjadi atlet pencak silat untuk SEA Games 2007
di Thailand. Ia kini mengikuti pemusatan latihan nasional pencak silat untuk
SEA Games 2007 di Pusat Pendidikan Komando Pasukan Khusus (Kopassus) Tentara
Nasional Indonesia Angkatan Darat di Batu Jajar, Cimahi, Jawa Barat
Saat ditemui Tempo, Kamis lalu, di pemusatan latihan itu, Febri bercerita ia
adalah gadis pembelot. Sambil membanggakan seragam seragam loreng hijau
Kopassus yang ia kenakan, Febri menuturkan bahwa ayahnya, Kartidja, adalah
karateka yang sering tampil di aneka kejuaraan yang ditayangkan di televisi.
Ayahnya mewajibkan Febri berlatih karate. Awalnya gadis kecil itu menurut.
Namun, ia hanya bertahan dua kali latihan. Belakangan, gadis itu malas
belajar karate. Alasannya, ia benci dipaksa oleh pelatihnya melakukan split
(merentangkan dua kaki sampai lurus sejajar dengan lantai). Aku nggak tahan
dipaksa-paksa untuk bisa split. Padahal di silat pun nantinya ada ada
keharusan bahwa aku harus mampu melakukan split, ujarnya sembari tertawa.
Akhirnya, dengan sedikit adu argumentasi dengan ayahnya, Febri kembali
berlatih silat. Kebetulan di sekolah ada Perguruan Silat Padjadjaran
Nasional. Akhirnya, setelah naik ke kelas III sekolah dasar, Febri bergabung
dan mulai berlatih dengan serius.
Kejuaraan pada 1995 mengubah hidupnya. Febri saat itu mengikuti kejuaraan
untuk pertama kalinya di Kejuaraan Nasional Perguruan Padjadjaran di Bogor.
Ia turun di kelas C junior (42-45 kilogram) dan pulang membawa medali
perunggu.
Setelah kejuaraan itu, Febri makin rajin mencebur dalam berbagai kejuaraan.
Hasilnya? Ia tidak hanya mendapatkan medali, tapi juga deretan luka. Yang
penting adalah mendapat pengalaman, kata gadis ulet itu.
Jam terbang Febri yang makin tinggi mengantarnya ke pertandingan yang lebih
besar, yaitu Pekan Olahraga Daerah Jawa Barat pada 1998 sebagai wakil Kota
Cirebon.
Dalam kejuaraan itu, Febri berhasil merebut emas dan berhak berlaga di
tingkat nasional. Sejak itulah Febri mulai mendulang banyak medali.
Koleksi medali yang diraih Febri ternyata tidak otomatis membuatnya mendapat
dukungan orang tuanya. Ibu Febri, Siti Maemunah, berkeras memintanya hanya
berkonsentrasi pada sekolah. Gadis penyuka matematika itu menolak. Ia
menunjukkan bukti bahwa silat tak menyurutkan prestasi akademiknya. Febri
pun berhasil masuk ke perguruan tinggi negeri di Bandung melalui jalur
atlet. Pilihannya pun tidak tanggung-tanggung: jurusan matematika. Orang
tuaku tidak menyangka aku bisa lulus ujian, kata Febri.
Pada 2002, Febri mengikuti kejuaraan nasional tingkat dewasa untuk pertama
kali dan sekali lagi berhasil meraih emas. Sejak saat itu, jam latihannya
terus bertambah sehingga waktu senggangnya semakin berkurang. Namun, sesuai
dengan janjinya kepada orang tua, anak tertua dari tiga bersaudara ini
menempatkan pendidikan sebagai prioritas.
Jadi, ya, pulang latihan, istirahat sebentar, lalu belajar. Hampir tidak ada
waktu untuk kumpul-kumpul dengan teman, ujar Febri. Kendati begitu, ia tidak
merasa masa mudanya terampas. Ini bukan sekadar impian, ini hidupku, gadis
berjilbab ini menegaskan.
Pertandingan, buat Febri, selalu memberi kenangan sendiri. Ia memberi contoh
ihwal kekalahannya melawan Haryanti, atlet silat dari Sumatera Selatan.
Haryanti tiga kali mengalahkan Febri, bahkan dua kali dalam event yang sama.
Tiga kali kalah oleh dia, aku sempat berpikir, ‘Apakah aku akan buat rekor
jadi empat kali kalah?’ Tapi ternyata aku bermain dengan tenang dan lepas.
Akhirnya 5-0 buatku, ujarnya berbinar-binar.
Di dunia internasional pun Febri mulai mendapatkan perhatian khusus. Pada
pertandingan internasionalnya yang pertama di United Kingdom Open 2006,
Febri mendapat emas. Selanjutnya, ia mendapat perak di University Games di
Hanoi, Vietnam, pada tahun yang sama. Terakhir ia sukses dalam Belgia
Terbuka 2007 dengan merebut emas di kelas C putri sekaligus menjadi pesilat
terbaik.
Namun, ia masih belum puas. Targetnya adalah emas di SEA Games Thailand dan
Pekan Olahraga Nasional XVIII bagi Jawa Barat. Ia telah bersumpah menempa
dirinya sekeras mungkin.
Saat ini Febri sedang digembleng di Pusat Kopassus di Batu Jajar. Ia menilai
latihan yang banyak melibatkan anggota Kopassus itu sangat menyenangkan
karena tidak sekadar menempa fisik dan teknik, tapi juga mental. Aku tidak
akan melupakan pelatnas ini karena ini adalah pelatnas pertamaku dan
ternyata sangat menyenangkan, katanya.
Meskipun jauh dari orang tua, Febri mengaku tidak pernah tertinggal berita
apa pun karena setiap hari ia pasti menelepon sang mama. Bahkan, ketika
masih di Jakarta, kalau memungkinkan ia menyempatkan pulang ke Cirebon. Tapi
yang tidak pernah lepas dari pelukannya adalah boneka harimau kecil yang
diberi nama Maung.
Maung itu keberuntunganku. Aku tidak pernah pergi ke mana pun tanpa Maung.
Rasanya ada yang hilang deh kalau Maung tidak ada di tempat tidurku,
katanya.
Oleh : MUSLIMA HAPSARI
Koran Tempo Minggu, 30 September 2007
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar