Jumat, 28 November 2014

MENERIMA PESANAN PARTAI BESAR KECIL

KAOS OBLONG - KERAH - JAKET - SWEATER dll

OBLONG

Galery :
INDOTIARA or INDOETHNIC
Jl. Raya Ir. H. Juanda Battembat No. 8 Telp. 0231-246454


Contact :
ABHO 
HP. Whatssap :                   081 324 22 7790
PIN BB : 7F875042


FB : abho komarudin

Selasa, 29 Oktober 2013

Seren Taun


Seren Taun adalah upacara adat panen padi masyarakat Sunda yang dilakukan tiap tahun. Upacara ini berlangsung khidmat dan semarak di berbagai desa adat Sunda. Upacara adat sebagai syukuran masyarakat agraris ini diramaikan ribuan masyarakat sekitarnya, bahkan dari beberapa daerah di Jawa Barat dan mancanegara. Beberapa desa adat Sunda yang menggelar Seren Taun tiap tahunnya adalah:
Istilah Seren Taun berasal dari kata dalam Bahasa Sunda seren yang artinya serah, seserahan, atau menyerahkan, dan taun yang berarti tahun. Jadi Seren Tahun bermakna serah terima tahun yang lalu ke tahun yang akan datang sebagai penggantinya. Dalam konteks kehidupan tradisi masyarakat peladang Sunda, seren taun merupakan wahana untuk bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala hasil pertanian yang dilaksanakan pada tahun ini, seraya berharap hasil pertanian mereka akan meningkat pada tahun yang akan datang.
Lebih spesifik lagi, upacara seren taun merupakan acara penyerahan hasil bumi berupa padi yang dihasilkan dalam kurun waktu satu tahun untuk disimpan ke dalam lumbung atau dalam bahasa Sunda disebut leuit[1] Ada dua leuit; yaitu lumbung utama yang bisa disebut leuit sijimatleuit ratna inten, atau leuit indung (lumbung utama); serta leuit pangiring atau leuit leutik (lumbung kecil). Leuit indung digunakan sebagai sebagai tempat menyimpan padi ibu yang ditutupi kain putih dan pare bapak yang ditutupi kain hitam. Padi di kedua leuit itu untuk dijadikan bibit atau benih pada musim tanam yang akan datang. Leuit pangiring menjadi tempat menyimpan padi yang tidak tertampung di leuit indung.
Menurut catatan sejarah dan tradisi lokal, perayaan Seren Taun sudah turun-temurun dilakukan sejak zaman Kerajaan Sunda purba seperti kerajaan Pajajaran. Upacara ini berawal dari pemuliaan terhadap Nyi Pohaci Sanghyang Asri, dewi padi dalam kepercayaan Sunda kuno. Sistem kepercayaan masyarakat Sunda kuno dipengaruhi warisan kebudayaan masyarakat asli Nusantara, yaitu animisme-dinamisme pemujaan arwah karuhun (nenek moyang) dan kekuatan alam, serta dipengaruhi ajaran Hindu. Masyarakat agraris Sunda kuno memuliakan kekuatan alam yang memberikan kesuburan tanaman dan ternak, kekuatan alam ini diwujudkan sebagai Nyi Pohaci Sanghyang Asri, dewi padi dan kesuburan. Pasangannya adalah Kuwera, dewa kemakmuran. Keduanya diwujudkan dalam Pare Abah (Padi Ayah) dan Pare Ambu (Padi Ibu), melambangkan persatuan laki-laki dan perempuan sebagai simbol kesuburan dan kebahagiaan keluarga. Upacara-upacara di Kerajaan Pajajaran ada yang bersifat tahunan dan delapan tahunan. Upacara yang bersifat tahunan disebut Seren Taun Guru Bumi yang dilaksanakan di Pakuan Pajajaran dan di tiap wilayah. Upacara besar yang bersifat delapan tahunan sekali atau sewindu disebut upacara Seren Taun Tutug Galur atau lazim disebut upacara Kuwera Bakti yang dilaksanakan khusus di Pakuan.[2]
Kegiatan Seren Taun sudah berlangsung pada masa Pajajaran dan berhenti ketika Pajajaran runtuh. Empat windu kemudian upacara itu hidup lagi di Sindang Barang, Kuta Batu, dan Cipakancilan. Namun akhirnya berhenti benar pada 1970-an. Setelah kegiatan ini berhenti selama 36 tahun, Seren Taun dihidupkan kembali sejak tahun 2006 di Desa Adat Sindang Barang, Pasir Eurih, Kecamatan Taman Sari, Kabupaten Bogor. Upacara ini disebut upacara Seren Taun Guru Bumi sebagai upaya membangkitkan jati diri budaya masyarakat Sunda.[3]
Di Cigugur, Kuningan, upacara seren taun yang diselenggarakan tiap tanggal 22 Rayagung-bulan terakhir pada sistem penanggalan Sunda, sebagaimana biasa, dipusatkan di pendopo Paseban Tri Panca Tunggal, kediaman Pangeran Djatikusumah, yang didirikan tahun 1840. Sebagaimana layaknya sesembahan musim panen, ornamen gabah serta hasil bumi mendominasi rangkaian acara.
Masyarakat pemeluk kepercayaan Sunda Wiwitan tetap menjalankan upacara ini, seperti masyarakat Kanekes, Kasepuhan Banten Kidul, dan Cigugur. Kini setelah kebanyakan masyarakat Sunda memeluk agama Islam, di beberapa desa adat Sunda seperti Sindang Barang, ritual Seren Taun tetap digelar dengan doa-doa Islam. Upacara seren taun bukan sekadar tontonan, melainkan juga tuntutan tentang bagaimana manusia senantiasa bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, terlebih di kala menghadapi panen. Upacara ini juga dimaksudkan agar Tuhan memberikan perlindungan di musim tanam mendatang.

Sabtu, 20 April 2013

KARAWANG " ETHNIC KARAWANG "

Pada zaman Kerajaan Padjadjaran yang dipimpin oleh Sri Baduga Maharaja, Karawang merupakan salah satu daerah kekuasaan dari Pajajaran. Daerah ini merupakan kota Pelabuhan di tepi Sungai Citarum. Penyebutaan Karawang berasal dari kata ‘Karawaan’ yang mengandung arti bahwa daerah ini banyak terdapat rawa. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya daerah yang menggunakan kata rawa di depannya seperti, Rawa Gabus, Rawa Monyet, dan Rawa Merta. Penduduk Karawang semula beragama Hindu. Semenjak takluk dan berada di bawah Kesultanan Banten, masyarakat Karawang berpindah keyakinan ke Agama Islam. Hal ini terjadi setelah Syekh Hasanudin bin Yusuf Idofi, yang terkenal dengan sebutan “Syekh Quro”, datang dan menetap di Karawang untuk mengajarkan agama Islam dan membaca Al-Qur’an. Karawang menjadi daerah berpemerintahan sendiri, direbut oleh Kesultanan Mataram, di bawah pimpinan Wiraperbangsa dari Sumedang Larang tahun 1632. Kesuksesannya adalah menempatkan dirinya sebagai wedana pertama dengan gelar Adipati Kertabumi III. Semenjak masa ini, sistem irigasi mulai dikembangkan di Karawang dan perlahan-lahan daerah ini menjadi daerah pusat penghasil beras utama di Pulau Jawa hingga akhir abad ke-20. Karawang menjadi kabupaten dengan bupati pertama Raden Singaperbangsa bergelar Kertabumi IV yang dilantik 14 September 1633. Tanggal ini menjadi hari jadi Kabupaten Karawang. Selanjutnya, bupati yang memerintah Kabupaten Karawang berturut-turut adalah R. Anom Wirasuta (1677-1721), R. Jayanegara (gelar R.A Panatayuda II (1721-1731)), R. Martanegara (R. Singanagara dengan gelar R. A Panatayuda III (1731-1752)), R. Mohamad Soleh (gelar R. A Panatayuda IV (1752-1786)). Pada rentang ini terjadi peralihan penguasa dari Mataram kepada VOC sampai datangnya kekuasaan Inggris ( 1811-1816). Kabupaten Karawang dihapuskan dan baru dihidupkan kembali sekitar tahun 1820 dan Bupati pertamanya R.A.A. Surianata. Sejarah kedudukan Ibukota Kabupaten Karawang dapat dikemukakan sebagai berikut. 1. Kabupaten Karawang dengan Ibukotanya di Karawang selama 166 tahun, yakni dari tahun 1653-1819; 2. Kabupaten Karawang dengan Ibukotanya di Wanayasa selama 10 tahun, yakni dari sekitar tahun 1820-1830; dan 3. Kabupaten Karawang dengan Ibukotanya di Purwakarta selama 119 tahun, yakni dari tahun 1830-1949. Melalui keputusan Wali Negara Pasundan Nomor 12 pada tanggal 29 Januari 1949, Kabupaten Karawang dipecah menjadi 2, yaitu Karawang Barat dengan Ibu Kota Karawang dan Karawang Timur menjadi Kabupaten Purwakarta dengan Ibukota di Subang. Dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah Kabupaten di lingkungan Provinsi Jawa Barat, Kabupaten Karawang secara resmi dinyatakan sebagai Kabupaten yang berdiri sendiri dengan Ibukota di Karawang.> Anda Sekarang Sedang Baca Artikel Tentang Asal usul kota Karawang Anda Bisa Menemukan Artikel Asal usul kota KarawangSaya Ini, dengan url http://kc-indonesia.blogspot.com/2012/06/asal-usu-kota-karawang.html, Kamu Juga Boleh Menyebar Luaskan Artikel Ini Atau MengCopy Paste Artikel Asal usul kota Karawang ini Jika Memang Berrmanfaat. Tapi Saya Harap Anda Jangan Lupa Menyertakan Link Asal usul kota Karawang Sumbernya. Thank
ARTI LAMBANG KARAWANG 1. Warna dasar hijau, Padi dan Kapas : melambangkan kemakmuran dan kesejahteraan yang senantiasa diwujudkan di Kabupaten Karawang. 2. Pintu Air : Melambangkan Kabupaten Karawang sebagai daerah pertanian dengan diairi pengairan teknis. 3. Butir biji 17 buah, Tanaman padi atau rawa 45 tanaman : melukiskan semangat juang dalam menegakan kemerdekaan Republik Indonesia. 4. Golok Lubuk : melambangkan semangat Kabupaten Karawang pantang menyerah dakam membela tanah air. 5. Bunga kapas 10 biji : melambangkan tanggal 10 Maulud tahun 1555 atau tanggal 10 Rabiul Awal H sebagai hari jadi Kabupaten Karawang. 6. Alur putih empat : melukiskan bahwa anad ke IV kerajaan tarumanegara telah menempatkan sungai Citarum sebagai jalur perhubungan. (Perda II Karawang Nomor 8 Tahun 1994) Read more: http://teguhashax.blogspot.com/2011/11/arti-lambang-kabupaten-karawang.html#ixzz2R0jSqJuV

Selasa, 18 Desember 2012

NGELMU SEJATI CIREBON A. Asal Usul Ajaran Ngelmu Sejati Cirebon Ngelmu Sejati atau Ngelmu Hakekat adalah ajaran kebatinan/mistik yang tersebar luas di daerah Karesidenan Cirebon, terutama di Kabupaten Cirebon dan Indramayu. Orang-orang agama/santri menaminya ngelmu engkik atau ngelmu garingan, artinya ilmu kering, karena para pengikut ngelmu suka memberi gelar kepada orang-orang agama/santri sebagai itik atau angsa karena setiap hari selalu bermain air (wudhu atau mandi). Ajaran ini tidak pernah memiliki organisasi. Sumber ajarannya adalah buku-buku catatan yang disebut primbon yang ditulis dengan tangan memakai bahasa Jawa Cirebon bercampur bahasa Kawi (Sansakreta) dengan huruf Arab atau Jawa. Buku Primbon tersebut pernah dicetak dalam 12 jilid dan ditulis dengan bahasa Indonesia huruf latin pada tahun 1920 oleh Tb. Haji Burhan. Setelah tercetak dan terjual habis buku tersebut tidak lagi diterbitkan. B. Penyebaran Ngelmu Sejati Cirebon Pada masa pra kemerdekaan, oleh para pemimpin Islam (wali) ajaran ini ditentang untuk disiarkan. Namun demikian, ajaran ini disebarkan secara diam-diam oleh Sultan Kanoman, Sultan Kasepuhan, Sultan Kecirebonan dan terutama dari pihak keturunan Sunan Gunung Jati. Pasca kemerdekaan Indonesia, ajaran ini disebarluaskan oleh Sultan Keprabon yang bernama Pangeran Aruman. C. Ajaran Ngelmu Sejati Cirebon Isi ajaran Ngelmu Sejati Cirebon tersusun dalam lima pokok, yaitu: Sahadat Sejati Ajaran dan kupasannya memakai bahasa Jawa Cirebon yang artinya kurang lebih sebagai berikut: “Waktu Gusti Rasulullah, Nabi Muhammad saw. akan meninggal dunia membisikkan ke telinga kanan Sahabat Ali, demikian, “Aku bersaksi tiada Tuhan selain Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad itu utusan Allah. Muhammad cahaya-Ku, Rasulullah rasa-Ku, ya Allah, ya Muhammad, ya Aku.”” Shalat Sejati Shalat adalah hubungan antara hamba dengan Tuhannya. Yang wajib ada lima, yaitu terletak pada mata, telinga, hidung, mulut dan kubul (kemaluan). Jadi, shalat sejati adalah shalat yang bisa menjaga lima hal tadi. Jika seseorang pandai menjaga yang lima tersebut maka hidupnya akan selamat sampai ke tempat yang dituju, yaitu Surga Sejati yang dirakit oleh Allah. Namun, jika ia tak pandai menjaganya, maka ia akan tersesat ke dalam surga penasaran, tempat jin, siluman, sileman dan berkasakan. Shalat yang lima itu berpangkal pada shalat daim, alamatul hayat, waktu menarik nafas insan harus menyebut Allah dan waktu menghembuskannya insan harus menyebut Hu, demikian harus tetap (daim = kontinyu) tidak ada hentinya, sehingga insan tahu di mana letak Allah, Tuhan Sejati. Martabat Tujuh Ajaran Ngelmu Sejati, manusia terdiri dari empat unsur, yaitu bumi (tanah), air, api dan dingin, sehingga mewujudkan jasmaniah, yakni badan kasar. Dan yang dimaksud martabat tujuh di sini adalah tahapan lahir manusia yang terproyeksi ke dalam tujuh fase (martabat tujuh). a. Alam Ahadiyat (alam azali abadi), adalah alam sebelum manusia lahir ke dunia. b. Alam Wahdat, alam kesatuan dari dua jenis. c. Alam Wahdaniyat, alam Maha Tunggal. Kesatuan tidak ada selain daripada wujud yang satu. d. Alam Arwah, alam mulai ada tanda gerak hidup bayi kira-kira umur empat bulan dalam kandungan ibu. e. Alam Mitsal, adalah merupakan bentuk yang lebih lunak. f. Alam Ajsam, yaitu sudah berbentuk manusia lengkap dengan tulang dan daging, namun belum sempurna. g. Alam Insan Kamil, bayi sudah dalam keadaan sempurna kira-kira umur sembilan bulan di dalam kandungan ibunya, kemudian lahirlah dengan keadaan sempurna. Tribahwana Tribahwana artinya tiga buana (dunia), yaitu tiga jagat alam besar. Dalam Primbon Ngelmu Sejati disebut demikian: “Sebelum aku tajalli (lahir ke dunia) lebih dulu membentuk tiga mahligai, yaitu: Baitul Makmur adanya di dalam kepala manusia. Di dalam kepala ada tempurung kepala, di dalamnya ada otak atau akal, di dalamnya ada pikiran, di dalamnya ada rasa, di dalamnya ada sir, di dalamnya ada Aku. Baitul Muharam ada di dalam dada manusia, di dalamnya ada jantung, di dalamnya ada hati, di dalamnya ada rasa, di dalamnya ada sir, di dalamnya ada Aku. Baitul Muqaddas ada di dalam kemaluan manusia, di dalamnya ada biji kemaluan, di dalamnya ada mani, di dalamnya ada meningkem, di dalamnya ada rasa, di dalamnya ada Aku. Dengan terbentuknya Tribahwana dapat diketahui Trimurti, artinya tiga senyawa dan di sanalah insan mengetahui hakikat dari hidupnya sehingga ia menjadi manusia sejati.” Mi’raj (Belajar Mati) Manusia di dunia kalau kembali ke tempat asal azali abadi harus melalui sembilan pintu. Oleh karena itu, orang harus mengetahui tempat kembalinya, jika tidak maka dapat mati berkumpul dengan jin, markayangan, binatang, tumbuh-tumbuhan dan bisa juga mati masuk ke tempat batu-batu dan kayu-kayu atau gunung-gunung. Maka dari itu, dalam ajaran ini ada latihan untuk mengetahui tempat kemballi di kemudian hari sesudah mati. Latihan ini disebut Mi’raj atau Meradan. Mula-mula masuk pintu I, akan bertemu dengan cahaya hitam, yakni wahaning nafsu lawwamah, seperti binatang. Tujuan hidupnya hanya kepada syahwat perut dan birahi. Jika tidak waspada akan kelorop (tertipu) masuk (inkarnasi) menjadi binatang ternak. Pintu II akan bertemu cahaya merah, ialah wahaning nafsu amarah, yang ada di dalam jin berkasakan. Pengaruhnya yang menguasai pendengaran. Jika tidak waspada maka masuklah orang ke dalam alam jin. Pintu III akan bertemu dengan cahaya hijau, ialah wahaning nafsu supiyah, rasanya dingin, banyak tampak ikan air dan binatang laut. Tajallinya penglihatan suka pada yang indah-indah, jika tidak awas orang akan terjerumus masuk ke dalam alam binatang air dan laut. Pintu IV akan tampak cahaya kuning, adalah wahaning nafsu mutmainnah, rasanya tenang banyak burung berkicau, semua seolah-olah mengajak tinggal bersama. Kalau tidak waspada orang akan terjeumus masuk ke dalam alam burung. Pintu V, setelah dilalui akan tampak bianglala berwarna tujuh macam melambaikan seolah-olah mengajak kita tinggal bersama. Jika tidak waspada maka akan tetap tinggal dalam alam tumbuh-tumbuhan. Pintu VI akan tampak cahaya putih terang terdengar seolah-olah suara halus dan merdu mengajak tinggal bersama-sama. Jika tidak awas maka akan masuk alam malakut. Pintu VII setelah dilalui akan terlihat cahay kuning keemas-emasan yang berasal dari suatu kelompok benda seperti rumah lebah, sedap serta nyaman dipandang. Itulah hakikat hati tempat berkumpul para ruh dan kalau berhenti maka tidak akan sampai ke tempat sejati yang kita cari. Pintu VIII terbuka luas dan mudah dimasuki. Tampak cahaya terang benderang, rasa nikmat dan tenang yang tidak ada bandingannya. Inilah surga bagi mereka yang bernuat baik di dunia, tetapi bukan surga sejati yang dituju. Pintu IX ialah pintu penghabisan. Jika manusia dapat masuk ke sini maka ia akan berjumpa dengan cahaya terang benderang yang tidak terbatas. Di sinilah surga sejati yang dirakit oleh Tuhan yang sejati. Tempat azali abadi tdak ada perbandingan dan persamaan, laisa kamitslihi syaiun. D. Kesimpulan Ngelmu Sejati Cirebon tampaknya adalah sebuah sinkretisme ajaran, yakni ajaran Islam sebagai mainstream dengan Hindu atau Budha. Nafas Hinduisme terasa kental sekali ketika berbicara mengenai perjalanan manusia setelah mati yang mendeskripsikan ajaran reinkarnasi dalam Hindu. Referensi Kamil Kertapraja, Aliran Kebatinan dan Kepercayaan di Indonesia, Jakarta: Yayasan Masagung, 1985, hal. 90 – 95. SUMBER : Mif19.tea's Blog

Minggu, 16 Desember 2012

PERGURUAN TERTUA DI JAWA

nama Perguruan Pencak Silat Padjadjaran yang didirikan pada tanggal 12 Desember 1928 di Desa Sukaraja Bogor, Pendirinya yaitu K.H Raden Ahmad Karta Kusumah ( Alm ) yang kemudian diteruskan oleh Tubagus Moh. Siddik Sakabrata ( Alm ). Guru Besar yang telah Almarhum: 1. Raden K.H. Ahmad Karta Kusumah 2. Raden Iing Ganda Lesmana 3. Raden Subarta 4. Raden Moh Yusuf 5. Tubagus Moh. Siddik Sakabrata Sebagai Perguruan Pencak Silat sejati, yang terdapat empat aspek didalamnya yaitu: 1. Seni Budaya 2. Beladiri 3. Olahraga, dan 4. Mental spiritual Dalam hal budaya serta kesenian Pencak Silat yang diprakarsai oleh Bapak Ukay S. seni dan budaya yang menjadi pelengkap perguruan, hal tersebut tidak terlepas daripada tokoh-tokoh pencak silat terdahulu Abah H. Dulhalim ( Jasinga) dan Abah Ucha ( Rangkas, Banten ) sebagai sesepuh daripada seni dan budaya Pencak Silat di Perguruan. Pada tahun 1979, murid-murid perguruan banyak yang turut serta dalam kancah pertandingan melalui IPSI, sampai meraih prestasi/juara Tingkat Nasional bahkan Tingkat Asia yang diprakarsai yang diantaranya atlit Perguruan Cabang Jakarta dan Atlit Cabang Bogor Barat ( Cigudeg ). Atas dasar prestasi-prestasi itulah yang akhirnya Perguruan Pencak Silat Padjadjaran menjadi Perguruan Pencak Silat Nasional Padjadjaran atau disebut juga PPSN Padjadjaran. Setelah wafatnya Guru Besar pada tahun 1997, dan tidak diadakannya tokoh pengganti sebagai Guru Besar, serta selain mengkaji keorganisasian daripada hal lain yang bersangkutan dengan keluarga besar perguruan, Bpk Tb Ukay S, selaku sesepuh Padjadjaran, mengambil langkah dan inisiatif untuk kelanjutan perguruan khususnya di wilayah Bogor barat beralih nama , dengan kelengkapan nama yaitu Perguruan Pencak Silat Putra Padjadjaran. Dengan penyempurnaan tersebut, Keluarga Besar Perguruan Pencak Silat Putra Padjadjaran terus dan terus berkiprah untuk perkembangan kekayaan seni kebudayaan asli Bangsa Indonesia. Lambang Perguruan Pencak Silat Putra Padjadjaran Mewujudkan Pencerminan : 1. Selain daripada menyimbolkan tujuh janji setia, tujuh rantai adalah pencerminan Persatuan dan kesatuan. 2. Berani yang dicerminkan dengan warna merah. 3. Bersikap kesatria dalam penegakan keadilan dan kebenaran yang disimbolkan dengan gambar kepala harimau/macan. 4. Kesuburan yang disimbolkan dengan warna kuning. 5. Jujur yang disimbolkan dengan kembang buah manggis. 6. Segi lima melambangkan keimanan dalam beragama. 7. Suci yang disimbolkan dengan warna putih. Yang Menciptakan gerak jurus adalah para Wali, yang di antaranya: 1. Pangeran Rangga Gading 2. Pangeran Papak ( Pangeran Sake ) 3. Pangeran Surapati 4. Pangeran Gagak Lumayung 5. Pangeran Jaka Sembung Perguruan Pencak Silat Padjadjaran adalah pewaris aliran seni budaya Pencak Silat yang berasal dari jawa Barat, yang diterkenal disebut dengan sebutan Jurus Lima ( Panca Dirya Pra Pencak Silat ). 1. Cimande Artinya Cai Iman anu Hade, ( air yang suci ) yang didirikan oleh seorang ulama besar Bogor yang juga mendirikan pesantren Tari kolot yaitu eyang Khaerudin, aliran ini berasal dari Desa Dhuhur Kecamatan Caringin Kabupaten Bogor. 2. Sera Sera yang berarti Serah artinya pasrah yang berasal dari bahasa sunda, aliran Serah ini terdiri dari 5 bagian, yaitu: 1. Serah Pasek 2. Serah Rapet 3. Serah Gulung 4. Serah Ringsek 5. Serah Totok 3. Syahbandar Aliran ini diambil dari nama seorang ulama besar yang bernama Syeh Bandar. 4. Cikalong. Aliran ini menggunakan tenaga yang lembut, dan namanya diambil dari nama sebuah kampung Cikalong di Cianjur. 5. Depokan Artinya permainan bawah.