Selasa, 29 Oktober 2013

Seren Taun


Seren Taun adalah upacara adat panen padi masyarakat Sunda yang dilakukan tiap tahun. Upacara ini berlangsung khidmat dan semarak di berbagai desa adat Sunda. Upacara adat sebagai syukuran masyarakat agraris ini diramaikan ribuan masyarakat sekitarnya, bahkan dari beberapa daerah di Jawa Barat dan mancanegara. Beberapa desa adat Sunda yang menggelar Seren Taun tiap tahunnya adalah:
Istilah Seren Taun berasal dari kata dalam Bahasa Sunda seren yang artinya serah, seserahan, atau menyerahkan, dan taun yang berarti tahun. Jadi Seren Tahun bermakna serah terima tahun yang lalu ke tahun yang akan datang sebagai penggantinya. Dalam konteks kehidupan tradisi masyarakat peladang Sunda, seren taun merupakan wahana untuk bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala hasil pertanian yang dilaksanakan pada tahun ini, seraya berharap hasil pertanian mereka akan meningkat pada tahun yang akan datang.
Lebih spesifik lagi, upacara seren taun merupakan acara penyerahan hasil bumi berupa padi yang dihasilkan dalam kurun waktu satu tahun untuk disimpan ke dalam lumbung atau dalam bahasa Sunda disebut leuit[1] Ada dua leuit; yaitu lumbung utama yang bisa disebut leuit sijimatleuit ratna inten, atau leuit indung (lumbung utama); serta leuit pangiring atau leuit leutik (lumbung kecil). Leuit indung digunakan sebagai sebagai tempat menyimpan padi ibu yang ditutupi kain putih dan pare bapak yang ditutupi kain hitam. Padi di kedua leuit itu untuk dijadikan bibit atau benih pada musim tanam yang akan datang. Leuit pangiring menjadi tempat menyimpan padi yang tidak tertampung di leuit indung.
Menurut catatan sejarah dan tradisi lokal, perayaan Seren Taun sudah turun-temurun dilakukan sejak zaman Kerajaan Sunda purba seperti kerajaan Pajajaran. Upacara ini berawal dari pemuliaan terhadap Nyi Pohaci Sanghyang Asri, dewi padi dalam kepercayaan Sunda kuno. Sistem kepercayaan masyarakat Sunda kuno dipengaruhi warisan kebudayaan masyarakat asli Nusantara, yaitu animisme-dinamisme pemujaan arwah karuhun (nenek moyang) dan kekuatan alam, serta dipengaruhi ajaran Hindu. Masyarakat agraris Sunda kuno memuliakan kekuatan alam yang memberikan kesuburan tanaman dan ternak, kekuatan alam ini diwujudkan sebagai Nyi Pohaci Sanghyang Asri, dewi padi dan kesuburan. Pasangannya adalah Kuwera, dewa kemakmuran. Keduanya diwujudkan dalam Pare Abah (Padi Ayah) dan Pare Ambu (Padi Ibu), melambangkan persatuan laki-laki dan perempuan sebagai simbol kesuburan dan kebahagiaan keluarga. Upacara-upacara di Kerajaan Pajajaran ada yang bersifat tahunan dan delapan tahunan. Upacara yang bersifat tahunan disebut Seren Taun Guru Bumi yang dilaksanakan di Pakuan Pajajaran dan di tiap wilayah. Upacara besar yang bersifat delapan tahunan sekali atau sewindu disebut upacara Seren Taun Tutug Galur atau lazim disebut upacara Kuwera Bakti yang dilaksanakan khusus di Pakuan.[2]
Kegiatan Seren Taun sudah berlangsung pada masa Pajajaran dan berhenti ketika Pajajaran runtuh. Empat windu kemudian upacara itu hidup lagi di Sindang Barang, Kuta Batu, dan Cipakancilan. Namun akhirnya berhenti benar pada 1970-an. Setelah kegiatan ini berhenti selama 36 tahun, Seren Taun dihidupkan kembali sejak tahun 2006 di Desa Adat Sindang Barang, Pasir Eurih, Kecamatan Taman Sari, Kabupaten Bogor. Upacara ini disebut upacara Seren Taun Guru Bumi sebagai upaya membangkitkan jati diri budaya masyarakat Sunda.[3]
Di Cigugur, Kuningan, upacara seren taun yang diselenggarakan tiap tanggal 22 Rayagung-bulan terakhir pada sistem penanggalan Sunda, sebagaimana biasa, dipusatkan di pendopo Paseban Tri Panca Tunggal, kediaman Pangeran Djatikusumah, yang didirikan tahun 1840. Sebagaimana layaknya sesembahan musim panen, ornamen gabah serta hasil bumi mendominasi rangkaian acara.
Masyarakat pemeluk kepercayaan Sunda Wiwitan tetap menjalankan upacara ini, seperti masyarakat Kanekes, Kasepuhan Banten Kidul, dan Cigugur. Kini setelah kebanyakan masyarakat Sunda memeluk agama Islam, di beberapa desa adat Sunda seperti Sindang Barang, ritual Seren Taun tetap digelar dengan doa-doa Islam. Upacara seren taun bukan sekadar tontonan, melainkan juga tuntutan tentang bagaimana manusia senantiasa bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, terlebih di kala menghadapi panen. Upacara ini juga dimaksudkan agar Tuhan memberikan perlindungan di musim tanam mendatang.

Sabtu, 20 April 2013

KARAWANG " ETHNIC KARAWANG "

Pada zaman Kerajaan Padjadjaran yang dipimpin oleh Sri Baduga Maharaja, Karawang merupakan salah satu daerah kekuasaan dari Pajajaran. Daerah ini merupakan kota Pelabuhan di tepi Sungai Citarum. Penyebutaan Karawang berasal dari kata ‘Karawaan’ yang mengandung arti bahwa daerah ini banyak terdapat rawa. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya daerah yang menggunakan kata rawa di depannya seperti, Rawa Gabus, Rawa Monyet, dan Rawa Merta. Penduduk Karawang semula beragama Hindu. Semenjak takluk dan berada di bawah Kesultanan Banten, masyarakat Karawang berpindah keyakinan ke Agama Islam. Hal ini terjadi setelah Syekh Hasanudin bin Yusuf Idofi, yang terkenal dengan sebutan “Syekh Quro”, datang dan menetap di Karawang untuk mengajarkan agama Islam dan membaca Al-Qur’an. Karawang menjadi daerah berpemerintahan sendiri, direbut oleh Kesultanan Mataram, di bawah pimpinan Wiraperbangsa dari Sumedang Larang tahun 1632. Kesuksesannya adalah menempatkan dirinya sebagai wedana pertama dengan gelar Adipati Kertabumi III. Semenjak masa ini, sistem irigasi mulai dikembangkan di Karawang dan perlahan-lahan daerah ini menjadi daerah pusat penghasil beras utama di Pulau Jawa hingga akhir abad ke-20. Karawang menjadi kabupaten dengan bupati pertama Raden Singaperbangsa bergelar Kertabumi IV yang dilantik 14 September 1633. Tanggal ini menjadi hari jadi Kabupaten Karawang. Selanjutnya, bupati yang memerintah Kabupaten Karawang berturut-turut adalah R. Anom Wirasuta (1677-1721), R. Jayanegara (gelar R.A Panatayuda II (1721-1731)), R. Martanegara (R. Singanagara dengan gelar R. A Panatayuda III (1731-1752)), R. Mohamad Soleh (gelar R. A Panatayuda IV (1752-1786)). Pada rentang ini terjadi peralihan penguasa dari Mataram kepada VOC sampai datangnya kekuasaan Inggris ( 1811-1816). Kabupaten Karawang dihapuskan dan baru dihidupkan kembali sekitar tahun 1820 dan Bupati pertamanya R.A.A. Surianata. Sejarah kedudukan Ibukota Kabupaten Karawang dapat dikemukakan sebagai berikut. 1. Kabupaten Karawang dengan Ibukotanya di Karawang selama 166 tahun, yakni dari tahun 1653-1819; 2. Kabupaten Karawang dengan Ibukotanya di Wanayasa selama 10 tahun, yakni dari sekitar tahun 1820-1830; dan 3. Kabupaten Karawang dengan Ibukotanya di Purwakarta selama 119 tahun, yakni dari tahun 1830-1949. Melalui keputusan Wali Negara Pasundan Nomor 12 pada tanggal 29 Januari 1949, Kabupaten Karawang dipecah menjadi 2, yaitu Karawang Barat dengan Ibu Kota Karawang dan Karawang Timur menjadi Kabupaten Purwakarta dengan Ibukota di Subang. Dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah Kabupaten di lingkungan Provinsi Jawa Barat, Kabupaten Karawang secara resmi dinyatakan sebagai Kabupaten yang berdiri sendiri dengan Ibukota di Karawang.> Anda Sekarang Sedang Baca Artikel Tentang Asal usul kota Karawang Anda Bisa Menemukan Artikel Asal usul kota KarawangSaya Ini, dengan url http://kc-indonesia.blogspot.com/2012/06/asal-usu-kota-karawang.html, Kamu Juga Boleh Menyebar Luaskan Artikel Ini Atau MengCopy Paste Artikel Asal usul kota Karawang ini Jika Memang Berrmanfaat. Tapi Saya Harap Anda Jangan Lupa Menyertakan Link Asal usul kota Karawang Sumbernya. Thank
ARTI LAMBANG KARAWANG 1. Warna dasar hijau, Padi dan Kapas : melambangkan kemakmuran dan kesejahteraan yang senantiasa diwujudkan di Kabupaten Karawang. 2. Pintu Air : Melambangkan Kabupaten Karawang sebagai daerah pertanian dengan diairi pengairan teknis. 3. Butir biji 17 buah, Tanaman padi atau rawa 45 tanaman : melukiskan semangat juang dalam menegakan kemerdekaan Republik Indonesia. 4. Golok Lubuk : melambangkan semangat Kabupaten Karawang pantang menyerah dakam membela tanah air. 5. Bunga kapas 10 biji : melambangkan tanggal 10 Maulud tahun 1555 atau tanggal 10 Rabiul Awal H sebagai hari jadi Kabupaten Karawang. 6. Alur putih empat : melukiskan bahwa anad ke IV kerajaan tarumanegara telah menempatkan sungai Citarum sebagai jalur perhubungan. (Perda II Karawang Nomor 8 Tahun 1994) Read more: http://teguhashax.blogspot.com/2011/11/arti-lambang-kabupaten-karawang.html#ixzz2R0jSqJuV